Kamis, 05 Agustus 2010

MAKALA KUSTA

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular yang menimbulkan masalah yang sangat kompleks. Masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan nasional.
Penyakit kusta pada umumnya sering dijumpai di negara-negara yang sedang berkembang sebagai akibat keterbatasan kemampuan negara dalam pemberian pelayanan kesehatan yang baik dan memadai kepada masyarakat. Penyakit kusta sampai saat ini masih ditakuti masyarakat, keluarga termasuk sebagian petugas kesehatan. Hal ini disebabkan masih kurangnya pengetahuan/pengertian, kepercayaan yang keliru terhadap kusta dan cacat yang ditimbulkannya.
Kuman kusta biasanya menyerang saraf tepi kulit dan jaringan tubuh lainnya. Penyakit ini merupakan penyakit menular yang sifatnya kronis dan dapat menimbulkan masalah yang komplek. Penyebab penyakit kusta ialah suatu kuman yang disebut Mycobaterium leprae. Sumber penularan penyakit ini adalah penderita kusta multi basilet (MB) atau kusta basah.
Di Indonesia penderita kusta terdapat hampir diseluruh daerah dengan penyebaran yang tidak merata. Suatu kenyataan, di Indonesia bagian Timur terdapat angka kesakitan kusta yang lebih tinggi. Penderita kusta 90% tinggal diantara keluarga mereka dan hanya beberapa persen saja yang tinggal dirumah sakit kusta, koloni penampungan atau perkampungan kusta. Prevalensi kusta di Indonesia cenderung menurun dari tahun ke tahun. Tahun 1986 ditemukan 7,6 per 10.000 penduduk menjadi 5,9 per 10.000 penduduk. Pada tahun 1994 terjadi lagi penurunan menjadi 2,2 per 10.000 penduduk dan menjadi 1,39 per 10.000 penduduk pada tahun 1997.Penurunan prevalensi penyakit kusta ini karean kemajuan di bidang teknologi promotif, pencegahan, pengobatan serta pemulihan kesehatan di bidang penyakit kusta.
Dengan dapatnya diatasi penyakit kusta ini seharusnya tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat. Tetapi sampai saat ini penyakit kusta masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang perlu di perhatikan oleh pihak yang terkait. Karena mengingat kompleksnya masalah penyakit kusta, maka di perlukan program penanggulangan secara terpadu dan menyeluruh dalam hal pemberantasan, rehabilitasi medis, rehabilitasi sosial ekonomi dan permasyarakatan dari bekas penderita kusta.
Suatu penyataan bahwa sebagian besar penderita kusta adalah dari golongan ekonomi lemah. Perkembangan penyakit pada diri penderita bila tidak ditangani secara cermat dapat menimbulkan cacat dan keadaan ini menjadi halangan bagi penderita kusta dalam kehidupan bermasyarakat untuk memenuhi kebutuhan sosial ekonomi mereka, juga tidak dapat berperan serta dalam pembangunan bangsa dan negara.

PEMASARAN SOSIAL

PEMASARAN SOSIAL

Menurut WY. Stanton pemasaran adalah sesuatu yang meliputi seluruh sistem yang berhubungan dengan tujuan untuk merencanakan dan menentukan harga sampai dengan mempromosikan dan mendistribusikan barang dan jasa yang bisa memuaskan kebutuhan pembeli aktual maupun potensial.
Dua aspek penting yang menarik dari ungkapan Les Robinson yang terkenal lewat teori social marketing “The Seven Door Approach”, yaitu perkembangan masyarakat (community development) dan pendidikan (education). Pemasaran sosial memang bukan sekadar memasarkan sebuah gagasan untuk tujuan non-profit. Pemasaran sosial pada intinya adalah upaya mengubah pandangan dan perilaku masyarakat melalui perubahan sosial. Cara yang dipandang paling tepat untuk melakukannya menurut Les adalah melalui pendidikan.
Tak dapat dipungkiri, ketika berbicara tentang perubahan sosial, maka tak ada resep generik dan jitu! Namun, mengubah pandangan dan perilaku masyarakat bukanlah sesuatu yang tak mungkin dilakukan. Ini pun bukan urusan sehari-dua hari. Jadi, perlu waktu, perlu strategi, perlu ketrampilan dan tentu saja “gagasan” brilian untuk “dijual”. Pemasaran sosial sudah lama dikenal di dunia dan diterapkan dalam “menjual” gagasan untuk mengubah pemikiran, sikap dan perilaku masyarakat. Tak hanya itu, strategi ini juga terbukti dapat memberdayakan organisasi dalam memperoleh dukungan termasuk sumber dana yang potensial dari masyarakat secara luas.
Menurut Prof. Dr. Emil Salim, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia yang juga mantan Menteri Lingkungan Hidup, organisasi nirlaba memainkan peranan penting dalam mengubah perilaku dan pandangan masyarakat. Ada beberapa faktor yang menyebabkannya, antara lain:
1. Trust terhadap pemerintah dan pengusaha menurun karena nasib rakyat kerap kali terabaikan;
2. pembangunan terasa timpang karena lebih berat kepada pertimbangan ekonomi dibandingkan dengan kesetaraan sosial dan lingkungan hidup;
3. teknologi informasi menumbuhkan daya kritis dan hubungan jejaring antarkelompok madani.
Beberapa faktor ini memang semestinya mendorong organisasi nirlaba untuk senantiasa meningkatkan kemampuan mengomunikasikan gagasan-gagasanuntuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat menggunakan strategi pemasaran sosial, secara baik dan tepat.
“Dibidani” pertama kali oleh ahli pemasaran dunia di tahun 70-an, Philip Kotler dan Gerald Zaltman, istilah “social marketing” memiliki makna yang tak jauh dari arti kata “pemasaran” dalam dunia bisnis itu sendiri. Social marketing mengacu pada penerapan strategi pemasaran dalam memecahkan masalah sosial dan kesehatan masyarakat, pada awalnya. Dalam kenyataan, teknik dan strategi pemasaran secara luar bisa telah berhasil mendorong masyarakat untuk membeli sebuah produk, sehingga secara teori para ahli melihat teknik-teknik menjual semacam itu juga bisa diadaptasi untuk “menjual” gagasan dan perilaku dalam rangka meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Selama ini, berbagai masalah sosial dan kesehatan dipicu oleh perilaku tertentu. Sebagai contoh penyebaran HIV-AIDS, kecelakaan lalu lintas atau kehamilan yang tidak diinginkan sangat terkait dengan perilaku dan pandangan yang perlu diubah. Masalah-masalah kesehatan sendiri memang memiliki dimensi sosial, sekaligus individual. Sebagai contoh, hasil penelitian yang pernah dilakukan di Inggris memperlihatkan, kemiskinan merupakan indikator yang bersifat konsisten dan dasar dari sehat tidaknya masyarakat di Inggris.
Kurangnya kesempatan, pilihan dan pemberdayaan memicu sulitnya masyarakat menerapkan gaya hidup sehat. Di sini, social marketing menawarkan sebuah solusi dengan mempengaruhi perilaku, tak hanya warga negara secara individu, namun juga kelompok masyarakat yang berpengaruh dan pembuat kebijakan. Para pelaku pemasaran sosial, bisa menyasar pada media, organisasi - organisasi dan penyusun kebijakan dan peraturan.
Pemasaran sosial sebagaimana pemasaran secara generik bukanlah teori yang berdiri sendiri. Pemasaran sosial merupakan sebuah kerangka atau struktur kerja yang tersusun atas berbagai pengetahuan lain seperti teori ilmu-ilmu psikologi, sosiologi, antropologi dan komunikasi dalam rangka memahami cara mempengaruhi perilaku masyarakat. Sebagaimana juga dasar marketing bisnis, pemasaran sosial didasarkan pada proses perencanaan logis yang melibatkan riset yang berorientasi pada konsumen, analisis pemasaran, segmentasi pemasaran, menentukan sasaran dan identifikasi strategi dan taktik pemasaran. Meskipun begitu, seperti diungkapkan Kotler maupun Zaltman, penerapan pemasaran sosial jauh lebih sulit dibandingkan pemasaran bisnis. Pemasaran sosial dipengaruhi oleh perilaku interaktif yang terus berubah, dalam iklim ekonomi, sosial dan politik yang kompleks. Apabila pemasaran bisnis menyasar tujuan utama untuk mempertemukan target para pemegang saham. Maka, social marketing menargetkan keinginan masyarakat untuk memperbaiki atau meningkatkan kualitas hidup mereka. Perjalanan berkembangnya social marketing sendiri pada dasarnya terjadi paralel dengan perkembangan bidang pemasaran komersil. Selama akhir tahun 50-an dan awal 60-an, para ahli dan pendidik pemasaran telah membahas potensi dan keterbatasan praktik pemasaran sosial pada bidang yang baru seperti politik dan sosial. Sebagai contoh, Wiebe (seorang ahli pemasaran) pernah mempertanyakan, apakah “Rasa persaudaraan dapat “dijual” seperti memasarkan sabun?”.
Sebagaimana fenomena berbagai masalah sosial dan berbagai solusi yang diambil, salah satu jalan keluar menuju pemahaman dan penerapan strategi social marketing adalah melalui pendidikan, semisal pelatihan atau lokakarya (Les Robinson, 1992). Bagaimana pun mendidik tidaklah mudah. Pendidikan sendiri sebenarnya bukan bertujuan untuk membuat “pembelajar menjadi tahu lebih banyak”. Melainkan membuat pembelajar “mengubah cara mereka melakukan sesuatu”. Tentu ini bukan perkara mudah! Mengubah perilaku manusia memang selalu menjadi sebuah kegiatan yang paling problematis dalam hubungan antarmanusia. Untuk dapat mengubah perilaku manusia, tidak hanya dibutuhkan strategi periklanan atau kehumasan (public relation). Mengubah perilaku dan pandangan manusia tidaklah seperti merenovasi konstruksi bangunan. Menurut Les, mengubah pandangan serta perilaku masyarakat lebih dari sekadar membangun sebuah kesadaran. Menurutnya lagi, landasan mengubah masyarakat adalah dengan menanggulangi hambatan. Menurut Dr. Linda D. Ibrahim, sosiolog dan narasumber ahli dari Universitas Indonesia memperkuat pemahaman ini.

BIOLOGI

ISTILAH – ISTILAH YANG MEMPELAJARI MAHLUK HIDUP DAN LINGKUNGANNYA

1. Aklimatisasi = penyesuaian diri terhadap iklim
2. Biom = satuan wilayah yang mempunyai iklim tertentu dan oleh karenanya mempunyai flora dan fauna khusus.
3. B.O.D. = biohemical oxygen demand, kandungan oksigen yang bisa melindungi mahluk hidup.
4. Ekoton = daerah transisi antara dua ekosistem.
5. Eugenik = usaha memperbaiki jenis dengan memilih bibit yang baik.
6. Epifit = tanaman menempel.
7. Halofit = tumbuhan yang suka hidup di air asin.
8. Oportunis = mahluk yang menggunakan kesempatan sebaik-baiknya.
9. Higrofit = tumbuhan tanah basah.
10. Hibrida = keturunan dua induk yang berbeda varietas.
11. Invasi = masuknya jenis mahluk yang berbeda di suatu wilayah.
12. In Vivo = suatu eksperimen dalam keadaan hidup.
13. Lamarckisme = teori yang menyatakan, bahwa sifat-sifat yang di peroleh selama hidup di wariskan kepada keturunannya.
14. Larva = organisme muda, lawan imago.
15. Liana = tumbuhan memanjat.
16. Mangrova = nama tumbuhan pantai, di air payau.
17. Mimikri = usaha penyelamatan diri dengan warna sesuai lingkungan atau serupa mahluk yang menakuti.
18. Mycorhiza = hidup bersama antara mutualisme antara sejenis cendawan dengan akar tumbuhan.
19. Nits = sarang, tempat hunian yang paling khusus, fungsi, kedudukan.
20. Virologi = ilmu tentang virus



ISTILAH – ISTILAH YANG MEMPELAJARI MAHLUK HIDUP DAN LINGKUNGANNYA

1. Populasi = kumpulan individu sebuah spesies yang mempunyai potensi untuk berbiak silang antara satu individu dengan individu lain
2. Homeostatis = kemampuan ekosistem menahan berbagai perubahan dalam sistem keseluruhan dan selalu berada dalam keseimbangan
3. Ekosistem = tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan satuan utuh menyeluruh dan saling mempengatuhi dalam bentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktifitas lingkungan hidup
4. Habitat = jenis lingkungan spesies, sebagai tempat keberadaan spesies itu
5. Komunitas = suatu lingkungan hidup yang didalamnya terdapat bermacam – macam mahluk hidup (tumbuhan dan hewan) yang memberikan hubungan timbal balik
6. Biotik = biota, komunitas organisme di daerah tertentu
7. Abiotik = yeitu benda – benda tidak hidup yang berada disekitar organisme
8. Komensalisme = interaksi antara populasi, dimana populasi yang satu untung sedang populasi yang lain tidak merasa dirugikan ( ikan hiu dan ikan remora kecil)
9. Parasitisme = bila salah satu populasi parasit terdapat populasi lain (cacing pita didalam perut sapi)
10. Predasi = hubungan antara pemangsa dan dimangsa ( elang dan anak ayam)
11. Mutualisme = bila antara populasi terjadi hubungan saling menguntungkan (tumbuhan bunga dan kupu – kupu)
12. Adaptasi = interaksi hewan dengan lingkungannya menunjukkan adanya hubungan timbal balik antara hewan dengan lingkungannya
13. Bentos = organisme yang hidup di dasar laut
14. Altonatrik = jenis organisme yang menduduki daerah yang geografisnya berbeda
15. Spesies Genetika = spesies diartikan sebagai kelompok yang mempunyai morfologi yang sama

OBESITAS

DAMPAK OBESITAS
TERHADAP FAAL PARU


KOLOM - Edisi April 2007 (Vol.6 No.9), oleh andra
________________________________________

Laksmi Wulandari, Manasye Lulu Udju Edo
Bagian /SMF llmu Penyakit Paru FK Unair/RSU Dr. Soetomo Surabaya

PENDAHULUAN

Obesitas yang menjadi epidemi di beberapa negara maju dan negara-negara berkembang sebenarnya dapat dianggap sebagai akibat kemajuan di bidang ekonomi, sosial, dan teknologi dalam beberapa dekade terakhir. Bahan makanan tersedia berlimpah dengan harga yang relatif murah. Makanan dengan kandungan kalori yang tinggi tersedia di banyak gerai-gerai makanan cepat saji di kota-kota besar. Teknologi yang memberikan kemudahan dan penggunaan alat-alat elektronik telah menjadi gaya hidup sehari-hari yang mengakibatkan kurangnya aktifitas fisik. Namun selain faktor perilaku dan lingkungan tersebut, faktor genetik juga ikut berperan pada timbulnya obesitas.

Prevalensi obesitas terus meningkat secara dramatis dari sekitar 9,4% pada National Health and Nutrition Examination Survey/NHANES I (1971-1974) menjadi 14,5% pada NHANES II (1976-1980), 22,5% pada NHANES III (19881994), dan 30% pada survey tahun 1999-2000.

Obesitas, khususnya obesitas sentral (abdominal), berasosiasi dengan sejumlah gangguan metabolisme dan penyakit dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi antara lain: resistensi insulin dan diabetes mellitus, hipertensi, hiperlipidemia, aterosklerosis, penyakit hati dan kandung empedu, bahkan beberapa jenis kanker. Selain itu obesitas (khususnya tipe morbid) juga berasosiasi dengan beberapa jenis gangguan pernafasan. Perubahan yang terjadi antara lain meliputi: mekanika pernafasan, tahanan aliran udara, pola pernafasan, pertukaran gas dan respiratory drive, yang akhirnya mengakibatkan abnormalitas tes faal paru.

Obesitas merupakan penyebab utama penurunan kapasitas latihan fisik dan gangguan pernafasan pada saat tidur (obstructive sleep apnea syndrome [OSAS]). Sebagian kecil penderita obesitas morbid mengalami hipoksia dan hipekarbia kronik tanpa adanya kelainan parenkim paru (obesity-hypoventilation syndrome [OHS]). Makalah ini akan membahas dampak obesitas pada sistem pernafasan, kelainan faal paru yang ditimbulkannya, serta manfast penurunan berat badan.

KOMPLIKASI RESPIRATORIK PADA OBESITAS

Komplikasi respiratorik yang dapat dijumpai pada obesitas (Tabel 1) sebagian besar ditentukan oleh jumlah dan distribusi lemak tubuh. Hal tersebut dapat mempengaruhi mekanika dan fisiologi pernafasan. Penelitian klinis, laboratorik, maupun epidemiologis telah menunjukkan adanya hubungan antara obesitas dan gangguan pernafasan, termasuk pada OSAS, OHS, dan asma, namun patofisiologinya belum sepenuhnya dapat dijelaskan.

Tabel 1: Komplikasi respiratorik akibat obesitas

Perubahan mekanika respirasi / berkurangnya kemampuan regangan jaringan paru
Peningkatan tahanan sistem pernafasan
Perubahan pola pernafasan dan respiratory drive
Berkurangnya kekuatan dan ketahanan otot-otot pernafasan
Gangguan pertukaran gas
Peningkatan beban kerja pernafasan
Berkurangnya toleransi aktivitas fisik
Gangguan pernafasan saat tidur
Peningkatan risiko tromboemboli vena
Peningkatan risiko aspirasi
Peningkatan risiko komplikasi pernafasan pada pembiusan dan perioperatif

Perubahan mekanika respirasi / kemampuan regangan paru

Obesitas, khususnya pada penderita OHS, menyebabkan kemampuan regangan (compliance) paru, dinding thorax, dan sistem pernafasan secara keselurnhan. Penurunan compliance ini disebabkan oleh bertambahnya volume darah pulmoner dan kolapsnya saluran-saluran nafas terminal. Kelebihan berat badan memberikan beban tambahan pada thorax dan abdomen dengan akibat peregangan yang berlebihan pada dinding thorax. Selain itu otot-otot pernafasan harus bekerja lebih keras untuk menghasilkan tekanan negatif yang lebih tinggi pada rongga pleura untuk memungkinkan aliran udara masuk saat inspirasi. Pada penderita obesitas sederhana (simple obesity, tanpa OHS) compliance paru mungkin normal atau mendekati normal. Dengan demikian diduga ada mekanisme lain yang menyebabkan timbulnya perubahan compliance pada penderita OHS.

Peningkatan tahanan sistem pernafasan

Tahanan sistem pernafasan secara keseluruhan mengalami peningkatan pada penderita obese. Pada penderita obesitas sederhana peningkatan terjadi sekitar 30%, sedangkan pada penderita OHS dapat mencapai 100%. Peningkatan ini kemungkinan besar berkaitan dengan peningkatan tahanan pada saluran-saluran nafas kecil (bukan saluran nafas besar) karena ternyata volume paru berkurang. Dengan demikian ratio FEV/ FVC akan tetap normal (selama tidak dijumpai penyakit paru obstruksif). Tahanan ini makin meningkat bila penderita berbaring terlentang karena beban massa yang ditimbulkan oleh lemak di daerah supra-laring pada saluran nafas, dan peningkatan aliran darah pulmoner, yang pada akhirnya mengakibatkan saluran nafas makin menyempit. Pada posisi terlentang juga terjadi penurunan kapasitas residual fungsional (functional recidual capasity [FRCl) yang akan menambah tahanan saluran nafas.

Perubahan pola pernafasan / respiratory drive

Sebagian besar penderita obesitas adalah eukapnik. Namun sebagian kecil di antaranya (terutama penderita OHS) mengalami peningkatan PaCO2 secara kronis. Baik kelompok penderita obesitas sederhana maupun OHS mengalami perubahan pola pernafasan, namun masing-masing memiliki pola yang berbeda. Sebagai usaha untuk mengkompensasi peningkatan beban pada otot-otot pernafasan, penderita obese mengalami peningkatan respiratory drive yang mengakibatkan peningkatan ventilasi semenit (minute ventilation [Ve]). Penderita obese eukapnik mengalami peningkatan frekuensi nafas sekitar 25% - 40% dibandingkan orang normal, sedangkan volume tidalnya (Vt) tetap normal baik pada saat istirahat maupun saat aktivitas fisik. Eukapoia juga tetap dipertahankan akibat terjadi peningkatan rangsangan saraf pada otot-otot pernafasan, dan peningkatan respons pernafasan terhadap hipoksia. Penderita obese eukapnik juga mengalami perubahan central breath timing (penurunan waktu ekspirasi) sebagai akibat perubahan compliance sistem pernafasan. Penderita obesitas sederhana menunjukkan penurunan respons pernafasan terhadap CO2 dibandingkan penderita non obese.

Dibandingkan penderita obesitas sederhana, penderita OHS mengalami peningkatan frekuensi nafas sebesar 25% dan penurunan Vt sebesar 25%. Penurunan Vt menyebabkan gangguan ventilasi alveolar. Perubahan mekanika dinding thorax atau gangguan fungsi otot-otot pernafasan menyebabkan berkurangnya kemampuan penderita untuk mengoreksi PaCO2 selama manuver hiperventilasi volunter. Selain itu didapatkan pula penurunan respons tekanan oklusi rongga mulut terhadap perubahan CO2. Keduanya mengindikasikan bahwa pada penderita OHS terjadi perubahan pola pernafasan akibat abnormalitas respiratory drive. Secara umum, penderita OHS memiliki gangguan respons pernafasan terhadap perubahan CO2 dan hipoksia yang lebih berat dibandingkan penderita obesitas sederhana.

Kekuatan dan ketahanan otot pernafasan

Kekuatan otot-otot inspirasi dan ekspirasi mungkin sedikit terganggu pada penderita OHS. Penyebabnya belum diketahui dengan pasti, namun diduga berkaitan dengan infiltrasi lemak pada otot-otot dan peregangan berlebihan pada otot diefragma. Ketahanan otot-otot pernafasan yang diukur dengan manuver ventilasi volunter maksimal (maximal voluntary ventilation [MW]) juga menurun.

Gangguan pertukaran gas

Gangguan pertukaran gas pada obesitas tergantung pada derajat keparahan obesitas, apakah penderita termasuk obesitas sederhana atau OHS (Tabel 2). Penderita obesitas ringan hingga sedang memiliki PaC02 yang normal. Penderita dengan obesitas sederhana mengalami penurunan PaCO2 dan perbedaan tekanan oksigen alveolar dan arteri yang makin lebar. Abnormalitas tersebut makin parah pada penderita OHS. Penderita OHS mengalami hipoksemia, baik pada siang maupun malam hari. Hipoksemia ini disebabkan oleh ketidaksetaraan ventilasi / perfusi (V/Q) dan shunting pada bagian paru (khususnya bagian basal) yang mengalami atelektasis dan oklusi saluran nafas tetapi masih tetap mendapatkan perfusi yang normal. Dibandingkan penderita obesitas sederhana, pada penderita OHS didapatkan fraksi shunting yang lebih besar (± 40% curah jantung) dan rasio V/Q yang lebih rendah. Hipoventilasi ikut berperan pada terjadinya hipoksemia pada penderita OHS. Hipoksemia ini makin berat bila penderita berbaring terlentang, karena FRC akan makin berkurang. Pada penderita OHS PaCO2 meningkat. Hal ini mungkin disebabkan oleh abnormalitas respiratory drive dan peningkatan beban kerja pernafasan. Pada kondisi dimana terjadi peningkatan baban kerja pernafasan yang berlebihan maka hipoventilasi dan toleransi terhadap PaCO2 yang lebih tinggi merupakan mekanisme kompensasi untuk mencapai efisiensi energi. Kemoreseptor pada susunan saraf pusat kemudian menyesuaikan diri terhadap peningkatan PaC02 yang menyebabkan berkurangnya respiratory drive. Beberapa faktor yang lain, termasuk OSAS, diameter saluran nafas bagian atas yang kecil, dan obesitas sendiri ikut berperan pada patogenesis OHS.

Tabel 2: Abnormalitas tes faal paru dan pertukaran gas pada Obesitas sederhana (OS) dan Obesity Hypoventilation Syndrome (OHS)

Parameter OS OHS
VC Normal
ERV
FRC
TLC Normal
RV Normal
MW Normal
Pl max Normal
PE max Normal
PaO2 Normal
PaCO2 Normal
PACO2-PaCO2 Normal


VC = vital capacity, ERV = expiratory reserve volume, FRC = functional residual capacity, TLC = total lung capacity, RV = residual volume, MW = maximum voluntary ventilation, Pl max = maximum inspiratory muscle pressure, PE max = maximum expiratory muscle pressure

Peningkatan beban kerja pernafasan

Beban kerja pernafasan adalah banyaknya energi yang dibutuhkan dalam proses pernafasan. Untuk mengukur banyaknya energi yang dibutuhkan tersebut digunakan ukuran antara berupa banyaknya oksigen yang dikonsumsi oleh otot-otot pernafasan untuk tiap liter ventilasi (oxygen cost). Pada penderita obesitas berat oxygen cost meningkat beberapa kali lipat. Secara keseluruhan terjadi peningkatan beban kerja pernafasan pada penderita obesitas karena peningkatan oxygen cost, penurunan kemampuan regangan jaringan paru (compliance), peningkatan tahanan sistem pernafasan, peningkatan nilai ambang beban inspirasi akibat massa jaringan lemak yang berlebihan. Penderita OSAS juga mengalami peningkatan tahanan saluran nafas di daerah faring dan nasofaring yang berkorelasi dengan Indeks Masa Tubuh (IMT) dan semakin meningkatkan beban kerja pernafasan. Penderita obesitas sederhana mengalami peningkatan beban kerja pernafasan sebesar 60% dibandingkan orang normal, sedangkan penderita OHS mengalami peningkatan sebesar 250% 42.

Berkurangnya toleransi aktivitas fisik

Kebanyakan penderita obesitas mengalami hambatan untuk melakukan aktivitas fisik. Beberapa mekanisme berperan pada berkurangnya toleransi aktivitas fisik tersebut (Tabel 3). Sebagian besar penelitian tentang aktivitas fisik dan obesitas dilaksanakan pada penderita obesitas sederhana. Laju metabolisme tubuh saat istirahat mengalami peningkatan. Penderita obese mengkonsumsi oksigen 25% lebih banyak dibandingkan nonobese. Hal ini makin bertambah saat penderita melakukan aktivitas fisik. Banyaknya energi yang dibutuhkan untuk menggerakkan massa tubuh merupakan salah satu penyebab meningkatnya beban metabolisme untuk menghasilkan kerja ringan hingga sedang. Perubahan mekanika dinding thorax dan abdomen ikut berperan pada peningkatan beban kerja ventilasi. Hal ini akan memicu makin meningkatnya denyut jantung dan frekwensi pernafasan pada saat puncak aktivitas fisik, walaupun aktivitas fisik yang dikerjakannya hanya sub-maksimal. Dengan demikian penderita obese akan mengalami penurunan kemampuan melakukan aktivitas fisik walaupun kondisi kardiovaskulernya cukup sehat. Konsumsi oksigen maksimal (V02 max) yang dinyatakan dalam mL/kg berat badan/menit adalah rendah dan berbanding terbalik dengan prosentase lemak tubuh. Perbandingan nilai ambang anaerobik terhadap berat badan juga menurun.

Semua perubahan tersebut menimbulkan sensasi sesak nafas dan mengakibatkan penderita obese cenderung mengurangi tingkat aktivitas fisiknya (deconditioning). Faktor kardiovaskuler juga ikut berperan. Penderita hipoksemia kronik dengan / tanpa gangguan pernafasan saet tidur akan mengalami hipertensi pulmoner. Akibatnya akan timbul gangguan fungsi ventrikel kanan dan kiri pada saat aktivitas. Disfungsi diastolik juga dapat terjadi bila terdapat hipertensi, iskemia miokard, penyakit mikrovaskuler (biasanya terkait dengan Diabetes) seringkali dijumpai pada penderita obesitas. Gangguan muskulo-skeletal (misalnya kesulitan berjalan dan rasa nyeri akibat artritis) akan makin membatasi aktivitas penderita. Semua faktor tersebut menyebabkan menurunnya kapasitas fungsional Penderita obesitas berat akan makin sulit melaksanakan aktivitas sehari-hari.


Tabel 3: Mekanisme penurunan toleransi aktivitas fisik pada obesitas.

Peningkatan laju metabolisme saat istirahat dan saat aktivitas
Beban metabolisme yang tinggi untuk menggerakkan massa tubuh
Perubahan mekanika dinding thorax dan abdomen
Rendahnya cadangan ventilasi dan kardiovaskuler
Rendahnya nilai ambang anaerobik
Sesak nafas
Deconditioning
Hipertensi pulmoner
Disfungsi diastolik
Iskemia miokard
Penyakit pembuluh darah tepi / mikrovaskuler
Abnormalitas muskulo-skeletal
Kecemasan

Gangguan pernafasan saat tidur

Sekitar 50% penderita obese menderita OSAS. Obesitas dan lingkar leher yang besar (> 43 cm) merupakan predisposisi terjadinya penyempitan pada saluran nafas bagian atas (daerah retrofaring). Timbunan lemak pada dan di sekitar faring, demikian pula pada dinding thorax dan abdomen ikut berperan pada timbulnya penyempitan dan oklusi saluran nafas bagian atas pada saat penderita tertidur. Akibatnya terjadi penurunan ventilasi, apnea, penurunan saturasi oksihemoglobin, yang menimbulkan rangsangan kemoreseptor perifer di carotid bodies dan membangkitkan refleks pada susunan saraf pusat berupa peningkatan aktivitas saraf simpatis. Akibatnya terjadi peningkatan tekanan darah dan gelombang elektroensefalografik (EEG). Pada saat penderita terjaga dari tidurnya, saluran nafas bagian atas kembali terbuka, apnea terhenti, ventilasi meningkat diatas normal, saturasi oksigen kembali normal, demikian pula aktivitas saraf simpatis. Penderita OSAS yang tidak diterapi memiliki mortalitas yang tinggi.

Penderita yang lebih obese biasanya menderita OHS yang ditandai dengan hipoventilasi alveolar, hiperkarbia dan hipoksia pada pagi dan siang hari yang makin parah saat penderita tidur, hipertensi pulmoner, dan peningkatan resistensi pembuluh darah paru. Sebagian besar penderita OHS juga mengidap OSAS. Komplikasi pada OSAS dan OHS meliputi: gangguan neuro-psikiatrik yang berkaitan dengan kurangnya waktu tidur, aritmia jantung, hipertensi pulmoner dan cor pulmonale, hipertensi sistemik, penyakit jantung koroner, gagal jantung kongestif, polisitemia, dan stroke.

Risiko terjadinya trombosis vena dan emboli paru

Obesitas merupakan faktor risiko indipenden terjadinya trombosis vena profundus. Risiko terjadinya emboli paru juga meningkat seiring dengan peningkatan IMT. Tromboemboli terutama terjadi pasca tindakan operasi. Kurangnya aktivitas fisik dan penurunan fibrinolisis pada obesitas diduga mendasari kedua hal tersebut.

Risiko teriadinya aspirasi

Tingginya volume cairan lambung, tingginya kejadian refluks gastro-esofageal, dan peningkatan tekanan intra-abdominal merupakan beberapa hal yang yang meningkatkan risiko terjadinya aspirasi pada penderita obesitas.

KELAINAN FAAL PARU PADA OBESITAS

Kelainan faal paru yang dijumpai pada penderita obesitas menggambarkan perubahan fisiologis pada mekanika pernafasan dan resistensi aliran udara. Derajat beratnya kelainan faal paru tergantung pada beratnya obesitas, dan distribusi lemak tubuh (Tabel 2). Abnormalitas faal paru yang paling sering dijumpai pada obesitas adalah penurunan volume cadangan ekspirasi (expiratory reserve volume [ERV]). Hal ini disebabkan oleh beban massa dan pemindahan beban dari dinding thorax bagian bawah dan abdomen ke paru-paru, serta naiknya posisi diafragma. Penurunan ERV terjadi seiring dengan bertambahnya derajat obesitas, lebih-lebih pada saat penderita berbaring terlentang. Didapatkan pula penurunan kapasitas vital paksa (forced vital capacity [FVC]), dan volume ekspirasi paksa dalam 1 detik (forced expiratory volume in 1 second [FEV,]). Pada penderita obesitas sederhana kapasitas vital (vital capacity [VC]) dan FRC mungkin menurun, namun nilai kapasitas paru total (total lung capacity [TLC]) tetap normal. Dengan demikian bila dijumpai kelainan TLC pada penderita obesitas, harus segera dicari adanya penyebab yang lain. Penurunan volume paru (termasuk ERV, FRC, VC, dan TLC) lebih parah terjadi pada penderita OHS dibandingkan penderita obesitas sederhana. Kapasitas difusi gas-gas pernafasan juga menurun seiring dengan bertambahnya derajat obesitas. Kapasitas difusi gas CO umumnya masih normal pada penderita obesitas sederhana, tetapi mulai menurun pada penderita OHS.

Distribusi lemak tubuh ikut menentukan pengaruh obesitas pada tes faal paru. Dibandingkan penderita obesitas perifer, penderita obesitas sentral mengalami penurunan FVC, FEV,, TLC, dan MW yang lebih berat. Penurunan MW berbanding lurus dengan peningkatan IMT dan penurunan aliran udara ekspirasi (FVC dan FEV,) serta volume paru.

MANFAAT PENURUNAN BERAT BADAN

Penurunan berat badan membawa dampak yang menguntungkan dari segi metabolik
dan kardiovaskuler. Demikian pula halnya terhadap gangguan pernafasan. Upaya pengaturan diet, olahraga, atau pembedahan terbukti memperbaiki gangguan pernafasan pada obesitas. Penurunan berat badan menyebabkan perbaikan oksigenasi, kadar karbon dioksida, volume paru, fungsi otot-otot pernafasan, toleransi terhadap aktivitas fisik dan pertukaran gas saat aktivitas fisik. Pertukaran gas saat penderita tidur juga mengalami perbaikan dan dengan demikian memperbaiki kwalitas tidur serta mengurangi gejala mengantuk pada pagi dan siang hari.

Strategi intervensi untuk menurunkan berat badan yang berhasil akan menurunkan morbiditas dan mortalitas penderita obese secara bermakna. Perencanaan diet terstruktur dan program olahraga, termasuk didalamnya program rehabilitasi paru, harus selalu dipertimbangkan pada penderita obesitas yang mengalami gangguan pernafasan. Selama olahraga saturasi oksigen harus dipertahankan > 90%, terutama pada penderita dengan hipertensi pulmoner, agar tidak terjadi aritmia atau peningkatan tekanan arteri pulmonalis saat aktivitas fisik yang dapat menyebabkan penderita jatuh pingsan atau mengalami kegagalan sirkulasi.

RINGKASAN

Obesitas menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang tidak dapat diremehkan. Gangguan fungsi pernafasan yang terjadi pada obesitas meliputi: berkurangnya kemampuan regangan paru, peningkatan tahanan saluran nafas kecil, gangguan fungsi otot-otot pernafasan, peningkatan beban kerja pernafasan, gangguan pertukaran gas, berkurangnya toleransi terhadap aktivitas fisik, gangguan pernafasan saat tidur, serta meningkatnya risiko tromboemboli dan aspirasi, khususnya pada penderita obesitas berat. Perubahan-perubahan tersebut tidak tergantung pada adanya penyakit dasar parenkim paru. Adanya komplikasi pernafasan ikut menambah keterbatasan fisik, menurunkan kwalitas hidup, dan makin meningkatkan mortalitas.

Penurunan berat badan secara bermakna akan menurunkan risiko dan derajat gangguan pernafasan pada penderita. Penderita obesitas dengan gangguan pernafasan harus diikutsertakan dalam program rehabilitasi terstruktur yang meliputi perencanaan diet, olahraga, dan perubahan perilaku yang ditujukan untuk memperbaiki kapasitas fungsional dan kwalitas hidup, serta mengurangi risiko terjadinya hipertensi pulmoner dan kegagalan kardiorespirasi.

DAFTAR PUSTAKA ada di Redaksi

________________________________________
Seperti tercetak di Majalah Farmacia Edisi April 2007 , Halaman: 68 (462 hits)

OBESITAS

DAMPAK OBESITAS
TERHADAP FAAL PARU


KOLOM - Edisi April 2007 (Vol.6 No.9), oleh andra
________________________________________

Laksmi Wulandari, Manasye Lulu Udju Edo
Bagian /SMF llmu Penyakit Paru FK Unair/RSU Dr. Soetomo Surabaya

PENDAHULUAN

Obesitas yang menjadi epidemi di beberapa negara maju dan negara-negara berkembang sebenarnya dapat dianggap sebagai akibat kemajuan di bidang ekonomi, sosial, dan teknologi dalam beberapa dekade terakhir. Bahan makanan tersedia berlimpah dengan harga yang relatif murah. Makanan dengan kandungan kalori yang tinggi tersedia di banyak gerai-gerai makanan cepat saji di kota-kota besar. Teknologi yang memberikan kemudahan dan penggunaan alat-alat elektronik telah menjadi gaya hidup sehari-hari yang mengakibatkan kurangnya aktifitas fisik. Namun selain faktor perilaku dan lingkungan tersebut, faktor genetik juga ikut berperan pada timbulnya obesitas.

Prevalensi obesitas terus meningkat secara dramatis dari sekitar 9,4% pada National Health and Nutrition Examination Survey/NHANES I (1971-1974) menjadi 14,5% pada NHANES II (1976-1980), 22,5% pada NHANES III (19881994), dan 30% pada survey tahun 1999-2000.

Obesitas, khususnya obesitas sentral (abdominal), berasosiasi dengan sejumlah gangguan metabolisme dan penyakit dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi antara lain: resistensi insulin dan diabetes mellitus, hipertensi, hiperlipidemia, aterosklerosis, penyakit hati dan kandung empedu, bahkan beberapa jenis kanker. Selain itu obesitas (khususnya tipe morbid) juga berasosiasi dengan beberapa jenis gangguan pernafasan. Perubahan yang terjadi antara lain meliputi: mekanika pernafasan, tahanan aliran udara, pola pernafasan, pertukaran gas dan respiratory drive, yang akhirnya mengakibatkan abnormalitas tes faal paru.

Obesitas merupakan penyebab utama penurunan kapasitas latihan fisik dan gangguan pernafasan pada saat tidur (obstructive sleep apnea syndrome [OSAS]). Sebagian kecil penderita obesitas morbid mengalami hipoksia dan hipekarbia kronik tanpa adanya kelainan parenkim paru (obesity-hypoventilation syndrome [OHS]). Makalah ini akan membahas dampak obesitas pada sistem pernafasan, kelainan faal paru yang ditimbulkannya, serta manfast penurunan berat badan.

KOMPLIKASI RESPIRATORIK PADA OBESITAS

Komplikasi respiratorik yang dapat dijumpai pada obesitas (Tabel 1) sebagian besar ditentukan oleh jumlah dan distribusi lemak tubuh. Hal tersebut dapat mempengaruhi mekanika dan fisiologi pernafasan. Penelitian klinis, laboratorik, maupun epidemiologis telah menunjukkan adanya hubungan antara obesitas dan gangguan pernafasan, termasuk pada OSAS, OHS, dan asma, namun patofisiologinya belum sepenuhnya dapat dijelaskan.

Tabel 1: Komplikasi respiratorik akibat obesitas

Perubahan mekanika respirasi / berkurangnya kemampuan regangan jaringan paru
Peningkatan tahanan sistem pernafasan
Perubahan pola pernafasan dan respiratory drive
Berkurangnya kekuatan dan ketahanan otot-otot pernafasan
Gangguan pertukaran gas
Peningkatan beban kerja pernafasan
Berkurangnya toleransi aktivitas fisik
Gangguan pernafasan saat tidur
Peningkatan risiko tromboemboli vena
Peningkatan risiko aspirasi
Peningkatan risiko komplikasi pernafasan pada pembiusan dan perioperatif

Perubahan mekanika respirasi / kemampuan regangan paru

Obesitas, khususnya pada penderita OHS, menyebabkan kemampuan regangan (compliance) paru, dinding thorax, dan sistem pernafasan secara keselurnhan. Penurunan compliance ini disebabkan oleh bertambahnya volume darah pulmoner dan kolapsnya saluran-saluran nafas terminal. Kelebihan berat badan memberikan beban tambahan pada thorax dan abdomen dengan akibat peregangan yang berlebihan pada dinding thorax. Selain itu otot-otot pernafasan harus bekerja lebih keras untuk menghasilkan tekanan negatif yang lebih tinggi pada rongga pleura untuk memungkinkan aliran udara masuk saat inspirasi. Pada penderita obesitas sederhana (simple obesity, tanpa OHS) compliance paru mungkin normal atau mendekati normal. Dengan demikian diduga ada mekanisme lain yang menyebabkan timbulnya perubahan compliance pada penderita OHS.

Peningkatan tahanan sistem pernafasan

Tahanan sistem pernafasan secara keseluruhan mengalami peningkatan pada penderita obese. Pada penderita obesitas sederhana peningkatan terjadi sekitar 30%, sedangkan pada penderita OHS dapat mencapai 100%. Peningkatan ini kemungkinan besar berkaitan dengan peningkatan tahanan pada saluran-saluran nafas kecil (bukan saluran nafas besar) karena ternyata volume paru berkurang. Dengan demikian ratio FEV/ FVC akan tetap normal (selama tidak dijumpai penyakit paru obstruksif). Tahanan ini makin meningkat bila penderita berbaring terlentang karena beban massa yang ditimbulkan oleh lemak di daerah supra-laring pada saluran nafas, dan peningkatan aliran darah pulmoner, yang pada akhirnya mengakibatkan saluran nafas makin menyempit. Pada posisi terlentang juga terjadi penurunan kapasitas residual fungsional (functional recidual capasity [FRCl) yang akan menambah tahanan saluran nafas.

Perubahan pola pernafasan / respiratory drive

Sebagian besar penderita obesitas adalah eukapnik. Namun sebagian kecil di antaranya (terutama penderita OHS) mengalami peningkatan PaCO2 secara kronis. Baik kelompok penderita obesitas sederhana maupun OHS mengalami perubahan pola pernafasan, namun masing-masing memiliki pola yang berbeda. Sebagai usaha untuk mengkompensasi peningkatan beban pada otot-otot pernafasan, penderita obese mengalami peningkatan respiratory drive yang mengakibatkan peningkatan ventilasi semenit (minute ventilation [Ve]). Penderita obese eukapnik mengalami peningkatan frekuensi nafas sekitar 25% - 40% dibandingkan orang normal, sedangkan volume tidalnya (Vt) tetap normal baik pada saat istirahat maupun saat aktivitas fisik. Eukapoia juga tetap dipertahankan akibat terjadi peningkatan rangsangan saraf pada otot-otot pernafasan, dan peningkatan respons pernafasan terhadap hipoksia. Penderita obese eukapnik juga mengalami perubahan central breath timing (penurunan waktu ekspirasi) sebagai akibat perubahan compliance sistem pernafasan. Penderita obesitas sederhana menunjukkan penurunan respons pernafasan terhadap CO2 dibandingkan penderita non obese.

Dibandingkan penderita obesitas sederhana, penderita OHS mengalami peningkatan frekuensi nafas sebesar 25% dan penurunan Vt sebesar 25%. Penurunan Vt menyebabkan gangguan ventilasi alveolar. Perubahan mekanika dinding thorax atau gangguan fungsi otot-otot pernafasan menyebabkan berkurangnya kemampuan penderita untuk mengoreksi PaCO2 selama manuver hiperventilasi volunter. Selain itu didapatkan pula penurunan respons tekanan oklusi rongga mulut terhadap perubahan CO2. Keduanya mengindikasikan bahwa pada penderita OHS terjadi perubahan pola pernafasan akibat abnormalitas respiratory drive. Secara umum, penderita OHS memiliki gangguan respons pernafasan terhadap perubahan CO2 dan hipoksia yang lebih berat dibandingkan penderita obesitas sederhana.

Kekuatan dan ketahanan otot pernafasan

Kekuatan otot-otot inspirasi dan ekspirasi mungkin sedikit terganggu pada penderita OHS. Penyebabnya belum diketahui dengan pasti, namun diduga berkaitan dengan infiltrasi lemak pada otot-otot dan peregangan berlebihan pada otot diefragma. Ketahanan otot-otot pernafasan yang diukur dengan manuver ventilasi volunter maksimal (maximal voluntary ventilation [MW]) juga menurun.

Gangguan pertukaran gas

Gangguan pertukaran gas pada obesitas tergantung pada derajat keparahan obesitas, apakah penderita termasuk obesitas sederhana atau OHS (Tabel 2). Penderita obesitas ringan hingga sedang memiliki PaC02 yang normal. Penderita dengan obesitas sederhana mengalami penurunan PaCO2 dan perbedaan tekanan oksigen alveolar dan arteri yang makin lebar. Abnormalitas tersebut makin parah pada penderita OHS. Penderita OHS mengalami hipoksemia, baik pada siang maupun malam hari. Hipoksemia ini disebabkan oleh ketidaksetaraan ventilasi / perfusi (V/Q) dan shunting pada bagian paru (khususnya bagian basal) yang mengalami atelektasis dan oklusi saluran nafas tetapi masih tetap mendapatkan perfusi yang normal. Dibandingkan penderita obesitas sederhana, pada penderita OHS didapatkan fraksi shunting yang lebih besar (± 40% curah jantung) dan rasio V/Q yang lebih rendah. Hipoventilasi ikut berperan pada terjadinya hipoksemia pada penderita OHS. Hipoksemia ini makin berat bila penderita berbaring terlentang, karena FRC akan makin berkurang. Pada penderita OHS PaCO2 meningkat. Hal ini mungkin disebabkan oleh abnormalitas respiratory drive dan peningkatan beban kerja pernafasan. Pada kondisi dimana terjadi peningkatan baban kerja pernafasan yang berlebihan maka hipoventilasi dan toleransi terhadap PaCO2 yang lebih tinggi merupakan mekanisme kompensasi untuk mencapai efisiensi energi. Kemoreseptor pada susunan saraf pusat kemudian menyesuaikan diri terhadap peningkatan PaC02 yang menyebabkan berkurangnya respiratory drive. Beberapa faktor yang lain, termasuk OSAS, diameter saluran nafas bagian atas yang kecil, dan obesitas sendiri ikut berperan pada patogenesis OHS.

Tabel 2: Abnormalitas tes faal paru dan pertukaran gas pada Obesitas sederhana (OS) dan Obesity Hypoventilation Syndrome (OHS)

Parameter OS OHS
VC Normal
ERV
FRC
TLC Normal
RV Normal
MW Normal
Pl max Normal
PE max Normal
PaO2 Normal
PaCO2 Normal
PACO2-PaCO2 Normal


VC = vital capacity, ERV = expiratory reserve volume, FRC = functional residual capacity, TLC = total lung capacity, RV = residual volume, MW = maximum voluntary ventilation, Pl max = maximum inspiratory muscle pressure, PE max = maximum expiratory muscle pressure

Peningkatan beban kerja pernafasan

Beban kerja pernafasan adalah banyaknya energi yang dibutuhkan dalam proses pernafasan. Untuk mengukur banyaknya energi yang dibutuhkan tersebut digunakan ukuran antara berupa banyaknya oksigen yang dikonsumsi oleh otot-otot pernafasan untuk tiap liter ventilasi (oxygen cost). Pada penderita obesitas berat oxygen cost meningkat beberapa kali lipat. Secara keseluruhan terjadi peningkatan beban kerja pernafasan pada penderita obesitas karena peningkatan oxygen cost, penurunan kemampuan regangan jaringan paru (compliance), peningkatan tahanan sistem pernafasan, peningkatan nilai ambang beban inspirasi akibat massa jaringan lemak yang berlebihan. Penderita OSAS juga mengalami peningkatan tahanan saluran nafas di daerah faring dan nasofaring yang berkorelasi dengan Indeks Masa Tubuh (IMT) dan semakin meningkatkan beban kerja pernafasan. Penderita obesitas sederhana mengalami peningkatan beban kerja pernafasan sebesar 60% dibandingkan orang normal, sedangkan penderita OHS mengalami peningkatan sebesar 250% 42.

Berkurangnya toleransi aktivitas fisik

Kebanyakan penderita obesitas mengalami hambatan untuk melakukan aktivitas fisik. Beberapa mekanisme berperan pada berkurangnya toleransi aktivitas fisik tersebut (Tabel 3). Sebagian besar penelitian tentang aktivitas fisik dan obesitas dilaksanakan pada penderita obesitas sederhana. Laju metabolisme tubuh saat istirahat mengalami peningkatan. Penderita obese mengkonsumsi oksigen 25% lebih banyak dibandingkan nonobese. Hal ini makin bertambah saat penderita melakukan aktivitas fisik. Banyaknya energi yang dibutuhkan untuk menggerakkan massa tubuh merupakan salah satu penyebab meningkatnya beban metabolisme untuk menghasilkan kerja ringan hingga sedang. Perubahan mekanika dinding thorax dan abdomen ikut berperan pada peningkatan beban kerja ventilasi. Hal ini akan memicu makin meningkatnya denyut jantung dan frekwensi pernafasan pada saat puncak aktivitas fisik, walaupun aktivitas fisik yang dikerjakannya hanya sub-maksimal. Dengan demikian penderita obese akan mengalami penurunan kemampuan melakukan aktivitas fisik walaupun kondisi kardiovaskulernya cukup sehat. Konsumsi oksigen maksimal (V02 max) yang dinyatakan dalam mL/kg berat badan/menit adalah rendah dan berbanding terbalik dengan prosentase lemak tubuh. Perbandingan nilai ambang anaerobik terhadap berat badan juga menurun.

Semua perubahan tersebut menimbulkan sensasi sesak nafas dan mengakibatkan penderita obese cenderung mengurangi tingkat aktivitas fisiknya (deconditioning). Faktor kardiovaskuler juga ikut berperan. Penderita hipoksemia kronik dengan / tanpa gangguan pernafasan saet tidur akan mengalami hipertensi pulmoner. Akibatnya akan timbul gangguan fungsi ventrikel kanan dan kiri pada saat aktivitas. Disfungsi diastolik juga dapat terjadi bila terdapat hipertensi, iskemia miokard, penyakit mikrovaskuler (biasanya terkait dengan Diabetes) seringkali dijumpai pada penderita obesitas. Gangguan muskulo-skeletal (misalnya kesulitan berjalan dan rasa nyeri akibat artritis) akan makin membatasi aktivitas penderita. Semua faktor tersebut menyebabkan menurunnya kapasitas fungsional Penderita obesitas berat akan makin sulit melaksanakan aktivitas sehari-hari.


Tabel 3: Mekanisme penurunan toleransi aktivitas fisik pada obesitas.

Peningkatan laju metabolisme saat istirahat dan saat aktivitas
Beban metabolisme yang tinggi untuk menggerakkan massa tubuh
Perubahan mekanika dinding thorax dan abdomen
Rendahnya cadangan ventilasi dan kardiovaskuler
Rendahnya nilai ambang anaerobik
Sesak nafas
Deconditioning
Hipertensi pulmoner
Disfungsi diastolik
Iskemia miokard
Penyakit pembuluh darah tepi / mikrovaskuler
Abnormalitas muskulo-skeletal
Kecemasan

Gangguan pernafasan saat tidur

Sekitar 50% penderita obese menderita OSAS. Obesitas dan lingkar leher yang besar (> 43 cm) merupakan predisposisi terjadinya penyempitan pada saluran nafas bagian atas (daerah retrofaring). Timbunan lemak pada dan di sekitar faring, demikian pula pada dinding thorax dan abdomen ikut berperan pada timbulnya penyempitan dan oklusi saluran nafas bagian atas pada saat penderita tertidur. Akibatnya terjadi penurunan ventilasi, apnea, penurunan saturasi oksihemoglobin, yang menimbulkan rangsangan kemoreseptor perifer di carotid bodies dan membangkitkan refleks pada susunan saraf pusat berupa peningkatan aktivitas saraf simpatis. Akibatnya terjadi peningkatan tekanan darah dan gelombang elektroensefalografik (EEG). Pada saat penderita terjaga dari tidurnya, saluran nafas bagian atas kembali terbuka, apnea terhenti, ventilasi meningkat diatas normal, saturasi oksigen kembali normal, demikian pula aktivitas saraf simpatis. Penderita OSAS yang tidak diterapi memiliki mortalitas yang tinggi.

Penderita yang lebih obese biasanya menderita OHS yang ditandai dengan hipoventilasi alveolar, hiperkarbia dan hipoksia pada pagi dan siang hari yang makin parah saat penderita tidur, hipertensi pulmoner, dan peningkatan resistensi pembuluh darah paru. Sebagian besar penderita OHS juga mengidap OSAS. Komplikasi pada OSAS dan OHS meliputi: gangguan neuro-psikiatrik yang berkaitan dengan kurangnya waktu tidur, aritmia jantung, hipertensi pulmoner dan cor pulmonale, hipertensi sistemik, penyakit jantung koroner, gagal jantung kongestif, polisitemia, dan stroke.

Risiko terjadinya trombosis vena dan emboli paru

Obesitas merupakan faktor risiko indipenden terjadinya trombosis vena profundus. Risiko terjadinya emboli paru juga meningkat seiring dengan peningkatan IMT. Tromboemboli terutama terjadi pasca tindakan operasi. Kurangnya aktivitas fisik dan penurunan fibrinolisis pada obesitas diduga mendasari kedua hal tersebut.

Risiko teriadinya aspirasi

Tingginya volume cairan lambung, tingginya kejadian refluks gastro-esofageal, dan peningkatan tekanan intra-abdominal merupakan beberapa hal yang yang meningkatkan risiko terjadinya aspirasi pada penderita obesitas.

KELAINAN FAAL PARU PADA OBESITAS

Kelainan faal paru yang dijumpai pada penderita obesitas menggambarkan perubahan fisiologis pada mekanika pernafasan dan resistensi aliran udara. Derajat beratnya kelainan faal paru tergantung pada beratnya obesitas, dan distribusi lemak tubuh (Tabel 2). Abnormalitas faal paru yang paling sering dijumpai pada obesitas adalah penurunan volume cadangan ekspirasi (expiratory reserve volume [ERV]). Hal ini disebabkan oleh beban massa dan pemindahan beban dari dinding thorax bagian bawah dan abdomen ke paru-paru, serta naiknya posisi diafragma. Penurunan ERV terjadi seiring dengan bertambahnya derajat obesitas, lebih-lebih pada saat penderita berbaring terlentang. Didapatkan pula penurunan kapasitas vital paksa (forced vital capacity [FVC]), dan volume ekspirasi paksa dalam 1 detik (forced expiratory volume in 1 second [FEV,]). Pada penderita obesitas sederhana kapasitas vital (vital capacity [VC]) dan FRC mungkin menurun, namun nilai kapasitas paru total (total lung capacity [TLC]) tetap normal. Dengan demikian bila dijumpai kelainan TLC pada penderita obesitas, harus segera dicari adanya penyebab yang lain. Penurunan volume paru (termasuk ERV, FRC, VC, dan TLC) lebih parah terjadi pada penderita OHS dibandingkan penderita obesitas sederhana. Kapasitas difusi gas-gas pernafasan juga menurun seiring dengan bertambahnya derajat obesitas. Kapasitas difusi gas CO umumnya masih normal pada penderita obesitas sederhana, tetapi mulai menurun pada penderita OHS.

Distribusi lemak tubuh ikut menentukan pengaruh obesitas pada tes faal paru. Dibandingkan penderita obesitas perifer, penderita obesitas sentral mengalami penurunan FVC, FEV,, TLC, dan MW yang lebih berat. Penurunan MW berbanding lurus dengan peningkatan IMT dan penurunan aliran udara ekspirasi (FVC dan FEV,) serta volume paru.

MANFAAT PENURUNAN BERAT BADAN

Penurunan berat badan membawa dampak yang menguntungkan dari segi metabolik
dan kardiovaskuler. Demikian pula halnya terhadap gangguan pernafasan. Upaya pengaturan diet, olahraga, atau pembedahan terbukti memperbaiki gangguan pernafasan pada obesitas. Penurunan berat badan menyebabkan perbaikan oksigenasi, kadar karbon dioksida, volume paru, fungsi otot-otot pernafasan, toleransi terhadap aktivitas fisik dan pertukaran gas saat aktivitas fisik. Pertukaran gas saat penderita tidur juga mengalami perbaikan dan dengan demikian memperbaiki kwalitas tidur serta mengurangi gejala mengantuk pada pagi dan siang hari.

Strategi intervensi untuk menurunkan berat badan yang berhasil akan menurunkan morbiditas dan mortalitas penderita obese secara bermakna. Perencanaan diet terstruktur dan program olahraga, termasuk didalamnya program rehabilitasi paru, harus selalu dipertimbangkan pada penderita obesitas yang mengalami gangguan pernafasan. Selama olahraga saturasi oksigen harus dipertahankan > 90%, terutama pada penderita dengan hipertensi pulmoner, agar tidak terjadi aritmia atau peningkatan tekanan arteri pulmonalis saat aktivitas fisik yang dapat menyebabkan penderita jatuh pingsan atau mengalami kegagalan sirkulasi.

RINGKASAN

Obesitas menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang tidak dapat diremehkan. Gangguan fungsi pernafasan yang terjadi pada obesitas meliputi: berkurangnya kemampuan regangan paru, peningkatan tahanan saluran nafas kecil, gangguan fungsi otot-otot pernafasan, peningkatan beban kerja pernafasan, gangguan pertukaran gas, berkurangnya toleransi terhadap aktivitas fisik, gangguan pernafasan saat tidur, serta meningkatnya risiko tromboemboli dan aspirasi, khususnya pada penderita obesitas berat. Perubahan-perubahan tersebut tidak tergantung pada adanya penyakit dasar parenkim paru. Adanya komplikasi pernafasan ikut menambah keterbatasan fisik, menurunkan kwalitas hidup, dan makin meningkatkan mortalitas.

Penurunan berat badan secara bermakna akan menurunkan risiko dan derajat gangguan pernafasan pada penderita. Penderita obesitas dengan gangguan pernafasan harus diikutsertakan dalam program rehabilitasi terstruktur yang meliputi perencanaan diet, olahraga, dan perubahan perilaku yang ditujukan untuk memperbaiki kapasitas fungsional dan kwalitas hidup, serta mengurangi risiko terjadinya hipertensi pulmoner dan kegagalan kardiorespirasi.

DAFTAR PUSTAKA ada di Redaksi

________________________________________
Seperti tercetak di Majalah Farmacia Edisi April 2007 , Halaman: 68 (462 hits)

PBL FKM UG

TUJUAN KEGIATAN PBL
PBL 1
a. Mensosialisasikan kegiatan yang akan dilaksanakan
b. Mengumpulkan data dasar dan data sekunder yang diambil dari masyarakat dan instansi yang terkait
c. Melakukan analisis situasi terhadap permasalahan yang didapat dalam masyarakat
d. Melakukan penentuan prioritas masalah dan bersama-sama dengan masyarakat dan instansi terkait membahas alternatif pemecahan masalah.
e. Memaparkan dan mempertanggungjawabkan hasil kegiatan.
f. Membuat laporan PBL I.

PBL 2
a. Mensosialisasikan kegiatan yang akan dilaksanakan nantinya.
b. Melaksanakan program yang telah direncanakan sebelumnya.
c. Mengaktifkan peran serta masyarakat dalam setiap kegiatan yang berkaitan dengan pelaksanaan program.
d. Menentukan metode evaluasi keberhasilan program dengan melibatkan masyarakat dan aparat pemerintah maupun instansi yang terkait.
e. Mampu membuat perencanaan program yang melibatkan komponen yang ada pada lingkungan masing-masing.
f. Memaparkan dan mempertanggungjawabkan hasil kegiatan.
g. Membuat laporan PBL 2.

PBL 3
a. Melaksanakan evaluasi kegiatan intervensi yang telah dilaksanakan pada pbl 2 dengan melibatkan masyarakat dan aparat pemerintah
b. Merencanakan dan melaksanakan program alternatif untuk memperbaiki atau mempertinggi tingkat keberhasilan program intervensi yang telah dilaksanakan.
c. Memaparkan dan mempertanggungjawabkan hasil kegiatan.
d. Membuat laporan PBL 3.

MAKALAH HIV/AIDS

BAB I
PENDAHULUAN

A. Pengertian HIV/AIDS
AIDS adalah singkatan dari acquired immune deficiency syndrome disebabkan oleh virus yang disebut Human Immunodeficiency Virus disebabkan HIV.
Apabila HIV ini masuk kedalam peredaran darah seseorang maka HIV tersebut menyerang sel darah putih. Sel – sel darah putih ini adalah bagian dari system kekebalan tubuh yang berfungsi melindungi badan dari serangan penyakit. HIV secara berangsur – angsur merusak sel – sel darah putih hingga tidak berfungsi adengan baik.
1. Morfologi (bentuk tubuh pada manusia)
­ Kurang nafsu makan, sehingga tubuh menjadi kurus.
­ Badannya cepat lemah / lelah
­ Terdapat bercak – bercak putih dirongga mulut dan tidak dapat dihilangkan.
­ Wajahnya kelihatan pucat
­ Tidak bergairah
­ Berat badannya menurun.
2. Pelayanan Kesehatan
Terbagi atas :
 Pelayanan Preventif
1. Meningkatkan gaya hidup sehat
2. Memahami penyakit HIV / AIDS, bahaya dan pencegahan
3. Memahami penyakit Inis, bahaya dan pencegahan.
4. Di adakannya konseling tentang HIV / AIDS pada pekerja secara sukarela dan tidak dipaksa.
 Pelayanan Rehabilitatif
1. Latihan dan pendidikan pekerja untuk dapat menggunakan kemampuan yang masih ada secara maksimal.
2. Penghematan pekerja sesuai kemampuannya.
3. Penyuluhan kepada pekerja dan pengusaha untuk menerima penderita
4. Menghilangkan stigma dan diskriminasi terhadap pekerja ODHA dan rekan kerja dan pengusaha.


3. Gejala infeksi HIV
 Beberapa orang mungkin menjadi sakit beberapa hari atau beberapa minggu sesudah infeksi.
Gejala seperti flu misalnya, demam pembesaran kelenjar, berkeringat malam, dan batuk – batuk gejala ini biasanya hanya berlangdsung beberapa minggu saja. Lalu hilang dengan sendirinya.
 Pada beberapa orang lagi gejala bisa terus berkembang menjadi gejala – gejala yang lebih lanjuut, seperti pembenaran kelenjar secara lebih meluas dan tidak jelas penyebabnya misalnya dileher, lutut paha dan ketiak. Timbul rasa lemas, berat badan turun 5 kg setiap bulan tanpa sebab yang jelas, batuk kering terus – terusan (seperti batuknya perokok), diare, bercak dikulit, pendarahan yang tak jelas sebabnya sesak nafas, sakit tenggorokan, keringat malam dan demam.
Tanda – tanda yang tidak khas ini adalah inidikasi adanya kerusakan system kekebalan tubuh.
 Kekebalan tubuhnya telah demikian rusaknya akan menjadi penderita AIDS
4. Diagnosa Penyakit
Diagnosa penyakit dilakukan dengan memperhatikan adanya gejala – gejala tersebut diatas dan dipastikan dengan pemeriksaan serum darah. Specimen yang dirajuk berbentuk serum sebanyak 4 cc, dikirim segera kebalai laboratorium keseharan yang terdekat yang penyimpan dan pengiriman spesimen untuk pemeriksaan anti HIV.
1. Bila hasil pemeriksaan anti-HIV negatif maka perlu pemeriksaan ulang setelah 3 bulan kemudian. Karena pada infeksi HIV stadium dini kemungkinan pemeriksaan anti-HIV negatif.
2. bila anti pemeriksaan anti HIV positif perlu konfirmasi anti HIV secara Westerm Blot (WB) bila WB positif berarti orang masih jeropositif AIDS. Untuk itu perlu pemeriksaan lebih lanjut antara lain pemeriksaan yang memperlihatkan adanya penurunan kekebalan tubuh, keganasan atau infeksi oportunistik.
3. apabila hasil pemeriksaan anti HIV positif secara aglutinasi / Immuno Dot / Elisa sedang WB negatif, perlu pemeriksaan ulang anti HIV 3 balan.
5. Penularan
1. Penularan terjadi melalui
a. Hubungan kelamin dengan penderita infeksi HIV / AIDS
b. Penerimaan darah atau produk darah termasuk penggunaan alat suntikan dan alat medik lainnya yang tidak steril dan alat tujuk lain (alat tato, tindik) yang tercemar.
c. Penerimaan organ jaringan atau air mani.
2. Tidak terbukti bahaya penularan melalui jabat tangan, gigitan nyamuk, kolam renang, WC Umum, makan minum, pengguna telepon, dll.
3. Karena sifat penularan tersebut, maka kelompok Resiko tinggi kategorikan sbb :
a. Pria homoseks dengan lebih dari 1 pasangan seksual
b. Penyalahgunaan obat dengan suntikan
c. Wanita yang mempunyai pasangan pria pengidap virus HIV
d. Penderita hemofilia dan penerima transfusi darah atau produk darah lainnya.
e. Pria atau wanita penganut seks bebas.
6. Pengobatan
Pengobatan HIV / AIDS pada dasarnya meliputi aspek medis sosial.
Aspek Sosial
Aspek medis meliputi :
1. Pengobatan Suportif
2. Pencegahan dan pengobatan infeksi opotunistik
3. Pengobatan antiretroviral
Suportif
Penilaian gizi penderita sangat perlu dilakukan adari awal sehingga tidak terjadi hal – hal yang berlebihan dalam pemberian nutrisi atau terjadi kekurangan nutrisi yang dapat menyebabkan keburukan keadaan penderita dengan cepat.
Penyajian makanan hendaknya berfariatif sehingga penderita dapat tetap berselera makan. Bila nafsu makan penderita sangat menurun dapat dipertimbangkan pemakaian obat dan Anabolik Steroid.
Proses penyediaan makanan sangat perlu diperhatikan agar pada saat proses tidak terjadi penularan yang sangat fatal tanpa kita sadari. Seperti misalnya pemakaian alat – alat masak, pisau untuk memotong daging tidak boleh digunakan untuk mengupas buah, hal ini dimaksudkan untuk mencegah penularan toksopiasma. Begitu juga sebaliknya untuk mencegah penularan jamur.


7. Pencegahan
Pencegahan penyakit HIV yaitu :
1. Pencegahan penularan melalui infeksi hubungan seksual infeksi HIV terutama terjadi melalui hubungan seksual sehingga pencegahan AIDS perlu difokuskan pada hubungan seksual.
a. Hanya mengadakan hubungan seksual dengan pasangan sendiri (suami, istri, sendiri).
b. Kalau salah seorang pasangan anda sudah terinfeksi HIV, maka dalam melakukan hubungan seksual pergunakanlah kondom secara benar.
c. Mempertebal iman agar tidak terjerumus ke dalam hubungan – hubungan seksual diluar nikah
2. Pencegahan Penularan
a. Transfusi darah
b. Produk darah dan plasma
Pastikan agar tidak tercemar HIV.
c. Alat suntik dan alat lain yang dapat melukai kulit.
3. Pencegahan penularan dari ibu-anak (perinatal)
Diperkirakan 50 % bayi yang lahir dari ibu yang HIV (+) akan terinfeksi HIV sebelum, selama dan tidak lama sesudah melahirkan. Ini yang perlu disampaikan kepada ibu – ibu yang HIV (+). Ibu seperti ini perlukan seling. Sebaiknya ibu yang HIV (+) tidak hamil.
















DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
1. Morfologi
2. Pelayanan Kesehatan
3. Gejala Infeksi Penyakit HIV
4. Diagnosa Penyakit
5. Penularan
6. Pengobatan
7. Pencegahan
BAB III PENUTUP
1. Kesimpulan
2. Saran
DAFTAR PUSTAKA


DAFTAR PUSTAKA

WWW. Geogle Yonon.com.
Corey, Juliance and Matheson, Tanya, “AIDS Information For Women” Wire, Australia, 1989.
Pusat PKM Depkes RI-Leaflet “ AIDS Untuk Masyarakat Umum”1991.
Tirtayasa “Dampak Sosial Ekonomi, Bila Wanita Terserang Aids” dalam berita AIDS Indonesia 10-11, No.04, tahun 1993