Kamis, 05 Agustus 2010

PEMASARAN SOSIAL

PEMASARAN SOSIAL

Menurut WY. Stanton pemasaran adalah sesuatu yang meliputi seluruh sistem yang berhubungan dengan tujuan untuk merencanakan dan menentukan harga sampai dengan mempromosikan dan mendistribusikan barang dan jasa yang bisa memuaskan kebutuhan pembeli aktual maupun potensial.
Dua aspek penting yang menarik dari ungkapan Les Robinson yang terkenal lewat teori social marketing “The Seven Door Approach”, yaitu perkembangan masyarakat (community development) dan pendidikan (education). Pemasaran sosial memang bukan sekadar memasarkan sebuah gagasan untuk tujuan non-profit. Pemasaran sosial pada intinya adalah upaya mengubah pandangan dan perilaku masyarakat melalui perubahan sosial. Cara yang dipandang paling tepat untuk melakukannya menurut Les adalah melalui pendidikan.
Tak dapat dipungkiri, ketika berbicara tentang perubahan sosial, maka tak ada resep generik dan jitu! Namun, mengubah pandangan dan perilaku masyarakat bukanlah sesuatu yang tak mungkin dilakukan. Ini pun bukan urusan sehari-dua hari. Jadi, perlu waktu, perlu strategi, perlu ketrampilan dan tentu saja “gagasan” brilian untuk “dijual”. Pemasaran sosial sudah lama dikenal di dunia dan diterapkan dalam “menjual” gagasan untuk mengubah pemikiran, sikap dan perilaku masyarakat. Tak hanya itu, strategi ini juga terbukti dapat memberdayakan organisasi dalam memperoleh dukungan termasuk sumber dana yang potensial dari masyarakat secara luas.
Menurut Prof. Dr. Emil Salim, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia yang juga mantan Menteri Lingkungan Hidup, organisasi nirlaba memainkan peranan penting dalam mengubah perilaku dan pandangan masyarakat. Ada beberapa faktor yang menyebabkannya, antara lain:
1. Trust terhadap pemerintah dan pengusaha menurun karena nasib rakyat kerap kali terabaikan;
2. pembangunan terasa timpang karena lebih berat kepada pertimbangan ekonomi dibandingkan dengan kesetaraan sosial dan lingkungan hidup;
3. teknologi informasi menumbuhkan daya kritis dan hubungan jejaring antarkelompok madani.
Beberapa faktor ini memang semestinya mendorong organisasi nirlaba untuk senantiasa meningkatkan kemampuan mengomunikasikan gagasan-gagasanuntuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat menggunakan strategi pemasaran sosial, secara baik dan tepat.
“Dibidani” pertama kali oleh ahli pemasaran dunia di tahun 70-an, Philip Kotler dan Gerald Zaltman, istilah “social marketing” memiliki makna yang tak jauh dari arti kata “pemasaran” dalam dunia bisnis itu sendiri. Social marketing mengacu pada penerapan strategi pemasaran dalam memecahkan masalah sosial dan kesehatan masyarakat, pada awalnya. Dalam kenyataan, teknik dan strategi pemasaran secara luar bisa telah berhasil mendorong masyarakat untuk membeli sebuah produk, sehingga secara teori para ahli melihat teknik-teknik menjual semacam itu juga bisa diadaptasi untuk “menjual” gagasan dan perilaku dalam rangka meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Selama ini, berbagai masalah sosial dan kesehatan dipicu oleh perilaku tertentu. Sebagai contoh penyebaran HIV-AIDS, kecelakaan lalu lintas atau kehamilan yang tidak diinginkan sangat terkait dengan perilaku dan pandangan yang perlu diubah. Masalah-masalah kesehatan sendiri memang memiliki dimensi sosial, sekaligus individual. Sebagai contoh, hasil penelitian yang pernah dilakukan di Inggris memperlihatkan, kemiskinan merupakan indikator yang bersifat konsisten dan dasar dari sehat tidaknya masyarakat di Inggris.
Kurangnya kesempatan, pilihan dan pemberdayaan memicu sulitnya masyarakat menerapkan gaya hidup sehat. Di sini, social marketing menawarkan sebuah solusi dengan mempengaruhi perilaku, tak hanya warga negara secara individu, namun juga kelompok masyarakat yang berpengaruh dan pembuat kebijakan. Para pelaku pemasaran sosial, bisa menyasar pada media, organisasi - organisasi dan penyusun kebijakan dan peraturan.
Pemasaran sosial sebagaimana pemasaran secara generik bukanlah teori yang berdiri sendiri. Pemasaran sosial merupakan sebuah kerangka atau struktur kerja yang tersusun atas berbagai pengetahuan lain seperti teori ilmu-ilmu psikologi, sosiologi, antropologi dan komunikasi dalam rangka memahami cara mempengaruhi perilaku masyarakat. Sebagaimana juga dasar marketing bisnis, pemasaran sosial didasarkan pada proses perencanaan logis yang melibatkan riset yang berorientasi pada konsumen, analisis pemasaran, segmentasi pemasaran, menentukan sasaran dan identifikasi strategi dan taktik pemasaran. Meskipun begitu, seperti diungkapkan Kotler maupun Zaltman, penerapan pemasaran sosial jauh lebih sulit dibandingkan pemasaran bisnis. Pemasaran sosial dipengaruhi oleh perilaku interaktif yang terus berubah, dalam iklim ekonomi, sosial dan politik yang kompleks. Apabila pemasaran bisnis menyasar tujuan utama untuk mempertemukan target para pemegang saham. Maka, social marketing menargetkan keinginan masyarakat untuk memperbaiki atau meningkatkan kualitas hidup mereka. Perjalanan berkembangnya social marketing sendiri pada dasarnya terjadi paralel dengan perkembangan bidang pemasaran komersil. Selama akhir tahun 50-an dan awal 60-an, para ahli dan pendidik pemasaran telah membahas potensi dan keterbatasan praktik pemasaran sosial pada bidang yang baru seperti politik dan sosial. Sebagai contoh, Wiebe (seorang ahli pemasaran) pernah mempertanyakan, apakah “Rasa persaudaraan dapat “dijual” seperti memasarkan sabun?”.
Sebagaimana fenomena berbagai masalah sosial dan berbagai solusi yang diambil, salah satu jalan keluar menuju pemahaman dan penerapan strategi social marketing adalah melalui pendidikan, semisal pelatihan atau lokakarya (Les Robinson, 1992). Bagaimana pun mendidik tidaklah mudah. Pendidikan sendiri sebenarnya bukan bertujuan untuk membuat “pembelajar menjadi tahu lebih banyak”. Melainkan membuat pembelajar “mengubah cara mereka melakukan sesuatu”. Tentu ini bukan perkara mudah! Mengubah perilaku manusia memang selalu menjadi sebuah kegiatan yang paling problematis dalam hubungan antarmanusia. Untuk dapat mengubah perilaku manusia, tidak hanya dibutuhkan strategi periklanan atau kehumasan (public relation). Mengubah perilaku dan pandangan manusia tidaklah seperti merenovasi konstruksi bangunan. Menurut Les, mengubah pandangan serta perilaku masyarakat lebih dari sekadar membangun sebuah kesadaran. Menurutnya lagi, landasan mengubah masyarakat adalah dengan menanggulangi hambatan. Menurut Dr. Linda D. Ibrahim, sosiolog dan narasumber ahli dari Universitas Indonesia memperkuat pemahaman ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar